Keutamaan Amalan Hati ke atas Amalan Badan
Al-Qur’an menjelaskan bahwasanya keselamatan di akhirat kelak, dan perolehan surga di sana, hanya dapat dicapai oleh orang yang hatinya bersih dari kemusyrikan, kemunafikan dan penyakit-penyakit hati yang menghancurkan. Yaitu orang yang hanya menggantungkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana yang Dia firmankan melalui lidah nabi-Nya, Ibrahim al-Khalil a.s.
“Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (Yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (as-Syu’ara’: 87-89)
“Dan didekatlah surga itu kepada orang-orang yang bertaqwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat.” (Qaf: 31-33)
Keselamatan dari kehinaan pada hari kiamat kelak hanya diberikan kepada orang yang datang kepada Allah SWT dengan hati yang bersih. Dan surga hanya diberikan kepada orang yang datang kepada Tuhannya dengan hati yang pasrah.
(Fiqh al-Awlawiyyat, Dr. Yusuf al-Qaradhawi)
Petikan dari www.dakwah.info
DI ANTARA amalan yang sangat dianjurkan menurut pertimbangan agama ialah amalan batiniah yang dilakukan oleh hati manusia. Ia lebih diutamakan daripada amalan lahiriah yang dilakukan oleh anggota badan, dengan beberapa alasan:
Pertama:
Karena sesungguhnya amalan yang lahiriah itu tidak akan diterima oleh Allah SWT selama tidak disertai dengan amalan batin yang merupakan dasar bagi diterimanya amalan lahiriah itu, yaitu niat; sebagaimana disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sesungguhnya amal perbuatan itu harus disertai dengan niat.” [32]
“Sesungguhnya amal perbuatan itu harus disertai dengan niat.” [32]
Arti niat ini ialah niat yang terlepas dari cinta diri dan dunia. Niat yang murni untuk Allah SWT. Dia tidak akan menerima amalan seseorang kecuali amalan itu murni untuk-Nya; sebagaimana difirmankan-Nya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus…” (al-Bayyinah: 5)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus…” (al-Bayyinah: 5)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali yang murni, yang dilakukan hanya untuk-Nya.” [33]
“Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan kecuali yang murni, yang dilakukan hanya untuk-Nya.” [33]
Dalam sebuah hadith qudsi diriwayatkan, Allah SWT berfirman,
“Aku adalah sekutu yang paling tidak memerlukan persekutuan. Barangsiapa melakukan suatu amalan kemudian dia mempersekutukan diri-Ku dengan yang lain, maka Aku akan meninggalkannya dan meninggalkan sekutunya.”
“Aku adalah sekutu yang paling tidak memerlukan persekutuan. Barangsiapa melakukan suatu amalan kemudian dia mempersekutukan diri-Ku dengan yang lain, maka Aku akan meninggalkannya dan meninggalkan sekutunya.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan:
“Maka dia akan menjadi milik sekutunya dan Aku berlepas diri darinya.” [34]
“Maka dia akan menjadi milik sekutunya dan Aku berlepas diri darinya.” [34]
Kedua:
Karena hati merupakan hakikat manusia, sekaligus menjadi poros kebaikan dan kerusakannya. Dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik maka baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu ialah hati.” [35]
“Ketahuilah sesungguhnya di dalam tubuh manusia ada segumpal darah, apabila dia baik maka baiklah seluruh tubuhnya, dan apabila dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu ialah hati.” [35]
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwasanya hati merupakan titik pusat pandangan Allah, dan perbuatan yang dilakukan oleh hatilah yang diakui (dihargai/dinilai) oleh-Nya. Karenanya, Allah hanya melihat hati seseorang, bila bersih niatnya, maka Allah akan menerima amalnya: dan bila kotor hatinya (niatnya tidak benar), maka otomatis amalnya akan ditolak Allah, sebagaimana disabdakan oleh baginda,
“Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada tubuh dan bentuk kamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hati kamu.” [36]
Yang dimaksudkan di sini ialah diterima dan diperhatikannya amalan tersebut.
“Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada tubuh dan bentuk kamu, tetapi Dia melihat kepada hati-hati kamu.” [36]
Yang dimaksudkan di sini ialah diterima dan diperhatikannya amalan tersebut.
Al-Qur’an menjelaskan bahwasanya keselamatan di akhirat kelak, dan perolehan surga di sana, hanya dapat dicapai oleh orang yang hatinya bersih dari kemusyrikan, kemunafikan dan penyakit-penyakit hati yang menghancurkan. Yaitu orang yang hanya menggantungkan diri kepada Allah SWT, sebagaimana yang Dia firmankan melalui lidah nabi-Nya, Ibrahim al-Khalil a.s.
“Dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan. (Yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna. Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (as-Syu’ara’: 87-89)
“Dan didekatlah surga itu kepada orang-orang yang bertaqwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat.” (Qaf: 31-33)
Keselamatan dari kehinaan pada hari kiamat kelak hanya diberikan kepada orang yang datang kepada Allah SWT dengan hati yang bersih. Dan surga hanya diberikan kepada orang yang datang kepada Tuhannya dengan hati yang pasrah.
-------------------------------------------------------------------
Catatan kaki:
32- Muttafaq ‘Alaih dari Umar (al-Lu’lu’ wa al-Marjan, 1245), hadith pertama yang dimuat dalam Shahih al-Bukhari
33- Diriwayatkan oleh Nasai dari Abu Umamah, dan dihasankan olehnya dalam Shahih al-Jami’ as-Shaghir (1856)
34- Muslim meriwayatkannya dari Abu Hurairah r.a. dengan lafaz hadith yang pertama, sedangkan lafaz yang lainnya diriwayatkan oleh Ibn Majah.
35- Muttafaq ‘Alaih, dari Nu’man bin Basyir, yang merupakan bagian daripada hadith, “Yang halal itu jelas, dan yang haram itu juga jelas” (Lihat al-Lu’lu’ wa al-Marjan, 1028)
36- Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. (2564)
33- Diriwayatkan oleh Nasai dari Abu Umamah, dan dihasankan olehnya dalam Shahih al-Jami’ as-Shaghir (1856)
34- Muslim meriwayatkannya dari Abu Hurairah r.a. dengan lafaz hadith yang pertama, sedangkan lafaz yang lainnya diriwayatkan oleh Ibn Majah.
35- Muttafaq ‘Alaih, dari Nu’man bin Basyir, yang merupakan bagian daripada hadith, “Yang halal itu jelas, dan yang haram itu juga jelas” (Lihat al-Lu’lu’ wa al-Marjan, 1028)
36- Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. (2564)
InsyaAllah, bersambung utk bhgn 2..
No comments:
Post a Comment