(Fiqh al-Awlawiyyat, Dr. Yusuf al-Qaradhawi)
bersambung.. (hrp dh baca bhgn 1)
Taqwa kepada Allah - yang merupakan wasiat bagi orang-orang terdahulu dan yang terkemudian, merupakan dasar perbuatan yang utama, kebajikan, kebaikan di dunia dan akhirat - pada hakikat dan intinya merupakan persoalan hati.
Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda; “Taqwa itu ada di sini,” sambil menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali. Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali sambil memberikan isyarat dengan tangannya ke dadanya agar dapat dipahami oleh akal dan jiwa manusia.
Sehubungan dengan hal ini, al-Qur’an memberi isyarat bahwa ketaqwaan itu dilakukan oleh hati manusia:
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.” (al-Hajj: 32)
Semua tingkah laku dan perbuatan yang mulia, serta tingkatan amalan rabbaniyah yang menjadi perhatian para ahli suluk dan tasawuf, serta para penganjur pendidikan ruhaniah, merupakan perkara-perkara yang berkaitan dengan hati; seperti menjauhi dunia, memberi perhatian yang lebih kepada akhirat, keikhlasan kepada Allah, kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, tawakkal kepada Allah, mengharapkan rahmat-Nya, takut kepada siksaan-Nya, mensyukuri nikmatNya, bersabar atas bencana, redha terhadap ketentuan-Nya, selalu mengingat-Nya, mengawasi diri sendiri dan lain-lain. Perkara-perkara ini merupakan inti dan ruh agama, sehingga barangsiapa yang tidak memiliki perhatian sama sekali terhadapnya maka dia akan merugi sendiri, dan juga rugi dari segi agamanya.
Siapa yang mensia-siakan umurnya, maka dia tidak akan mendapatkan apa-apa.
Anas meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Tiga hal yang bila siapapun berada di dalamnya, maka dia dapat menemukan manisnya rasa iman. Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada yang lain; hendaknya ia mencintai seseorang yang ia tidak mencintainya kecuali karena Allah; dan hendaknya ia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam api neraka.” [37]
“Tidak beriman salah seorang di antara kamu sehingga aku lebih dicintainya daripada ibubapa dan anaknya, serta manusia seluruhnya.” [38]
Diriwayatkan dari Anas bahwa ada seorang lelaki yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Kapankah kiamat terjadi wahai Rasulullah?” Beliau balik bertanya: “Apakah yang telah engkau persiapkan?” Dia menjawab, “Aku tidak mempersiapkan banyak shalat dan puasa, serta shadaqah, tetapi aku mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bersabda, “Engkau akan bersama orang yang engkau cintai.” [39]
Hadith ini dikuatkan oleh hadith Abu Musa:
Bahwa ada seseorang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ada seseorang yang mencintai kaum Muslimin, tetapi dia tidak termasuk mereka.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Seseorang akan bersama dengan orang yang dia cintai.” [40]
Hadith-hadith tersebut menunjukkan bahwa cinta kepada Allah SWT dan Rasulullah, serta cinta kepada hamba-hamba-Nya yang shaleh merupakan cara pendekatan yang paling baik kepada Allah SWT; walaupun tidak disertai dengan tambahan shalat, puasa dan shadaqah.
Hal ini tidak lain adalah karena cinta yang murni merupakan salah satu amalan hati, yang memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah SWT.
Atas dasar itulah beberapa ulama besar berkata,
“Aku cinta kepada orang-orang shaleh walaupun aku tidak termasuk golongan mereka.
Aku berharap bahwa aku bisa mendapatkan syafaat (ilmu, dan kebaikan) dari mereka.
Aku tidak suka terhadap barang-barang maksiat, walaupun aku sama maksiatnya dengan barang-barang itu.”
Cinta kepada Allah, benci karena Allah merupakan salah satu bagian dari iman, dan keduanya merupakan amalan hati manusia.
Dalam sebuah hadith disebutkan,
“Barangsiapa mencintai karena Allah, marah karena Allah, memberi karena Allah, menahan pemberian karena Allah, maka dia termasuk orang yang sempurna imannya.” [41]
“Ikatan iman yang paling kuat ialah berwala’ karena Allah, bermusuhan karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah SWT.” [42]
Oleh sebab itu, kami sangat heran terhadap konsentrasi yang diberikan oleh sebagian pemeluk agama, khususnya para daie’ yang menganjurkan amalan dan adab sopan santun yang berkaitan dengan perkara-perkara lahiriah lebih banyak daripada perkara-perkara batiniah; yang memperhatikan bentuk luar lebih banyak daripada intinya; misalnya memendekkan pakaian, memotong kumis dan memanjangkan jenggot, bentuk hijab wanita, hitungan anak tangga mimbar, cara meletakkan kedua tangan atau kaki ketika shalat, dan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan bentuk luar lebih banyak daripada yang berkaitan dengan inti dan ruhnya. Perkara-perkara ini, bagaimanapun, tidak begitu diberi prioritas dalam agama ini.
Saya sendiri memperhatikan - dengan amat menyayangkan - bahwa banyak sekali orang-orang yang menekankan kepada bentuk lahiriah ini dan hal-hal yang serupa dengannya - Saya tidak berkata mereka semuanya - mereka begitu mementingkan hal tersebut dan melupakan hal-hal lain yang jauh lebih penting dan lebih dahsyat pengaruhnya. Seperti berbuat baik kepada kedua ibubapa, silaturrahim, menyampaikan amanat, memelihara hak orang lain, bekerja yang baik, dan memberikan hak kepada orang yang harus memilikinya, kasih-sayang terhadap makhluk Allah SWT, apalagi terhadap yang lemah, menjauhi hal-hal yang jelas diharamkan dan lain-lain sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT kepada orang-orang yang beriman di dalam kitab-Nya; di awal surah al-Anfal, awal surah al-Mu’minun, akhir surah al-Furqan, dan lain-lain.
Saya tertarik dengan perkataan yang diucapkan oleh saudara kita, seorang daie’ Muslim, Dr. Hassan Hathout yang tinggal di Amerika, yang sangat tidak suka kepada sebagian saudara kita yang begitu ketat dan kaku dalam menerapkan hukum Islam yang berkaitan dengan daging halal yang telah disembelih menurut aturan syariat. Mereka begitu ketat meneliti daging-daging tersebut apakah ada kemungkinan bahwa daging tersebut tercampur dengan daging atau lemak babi, walaupun kemungkinan itu hanya benar 1% sahaja tetapi dalam masa yang sama masa yang sama dia tidak memperhatikan bahwa dia memakan bangkai saudaranya setiap hari beberapa kali (dengan fitnah dan mengumpat/ghibah), sehingga saudaranya dapat menjadi sasaran syubhat dan tuduhan, atau dia sendiri yang menciptakan tuduhan-tuduhan tersebut.
Allahu a’lam..
--------------------------------------------------------------------
Catatan kaki:37- Muttafaq ‘Alaih dari Anas (al-Lu’lu’wa al-Marjan, 26)
38- Muttafaq ‘Alaih dari Anas (al-Lu’lu’ wa al-Marjan, 27)
39- Muttafaq ‘Alaih dari Anas (al-Lu’lu’ wa al-Marjan, 1693)
40- Muttafaq ‘Alaih dari Anas (al-Lu’lu’ wa al- Marjan, 1694)
41- Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab al-Sunnah dari Abu Umamah (4681), dan dalam al-Jami’ as-Shaghir riwayat ini dinisbatkan kepada Dhiya’ (Shahih al-Jami’ as-Shaghir, 5965)
42- Diriwayatkan oleh al-Thayalisi, Hakim, dan Thabrani dalam al-Kabir, dan al-Awsath dari Ibn Mas’ud, Ahmad, dan Ibn Abi Syaibah dari Barra” dan juga diriwayatkan oleh Thabrani dari Ibn Abbas (Shahih al-Jami’ as-Shaghir, 2539)
sumber dari www.dakwah.info
No comments:
Post a Comment